Baru kali ini dalam sejarah hidupku, ihya' dihatamkan dua kali dalam dua hari berurutan. Rekor hataman kitab yang patut diacungi jempol. Kok bisa?
Begini ceritanya. Hari Rabo 25 Muharram 1438 H, dars pembacaan kitab Ihya Ulumiddin di bait Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf sudah mencapai lembaran terakhir dari empat juz karya Alghazali itu. Perjalanan selama satu tahun yang dilakukan oleh orang orang mulia itu sampai ke terminal akhirnya. Setiap pagi hari mereka istikamah membaca huruf demi huruf, kalimat perkalimat dari kitab Ihya. Dinahkodai oleh pemuda yang mulia, Habib Abdul Qadir Assegaf putra dari maha guru yang mulia, dengan sabar mereka melangkah dari satu halaman ke halaman berikutnya. Sudah terbiasa di akhir muharram mereka berlabuh di pelabuhan yang kemudian dilanjutkan kembali dari awal.
Begini ceritanya. Hari Rabo 25 Muharram 1438 H, dars pembacaan kitab Ihya Ulumiddin di bait Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf sudah mencapai lembaran terakhir dari empat juz karya Alghazali itu. Perjalanan selama satu tahun yang dilakukan oleh orang orang mulia itu sampai ke terminal akhirnya. Setiap pagi hari mereka istikamah membaca huruf demi huruf, kalimat perkalimat dari kitab Ihya. Dinahkodai oleh pemuda yang mulia, Habib Abdul Qadir Assegaf putra dari maha guru yang mulia, dengan sabar mereka melangkah dari satu halaman ke halaman berikutnya. Sudah terbiasa di akhir muharram mereka berlabuh di pelabuhan yang kemudian dilanjutkan kembali dari awal.
Walau aku sering bolos, tapi aku beruntung bisa mengikuti dars terakhir tahun ini. Untungnya lagi, Abuya hadir di khataman itu. Beliau memulai dan mengakhiri dars dengan fatihah. Moment istimewa. Sejak sakit tidak pernah kulihat dengan mata kepalaku ini Abuya memimpin dars ihya yang menjadi rutinitas kesehariannya ketika masih sehat.
Habis doa dan meneguk seloki kopi barokah kami sungkem dengan tertib kepada beliau. Semua bersimpuh mendekati Abuya yang duduk di kursi coklat itu. Zaini di dekat Abuya mengatur posisi tangan kanan Abuya yang diciumi oleh murid-muridnya bergantian. Alfaqir si kurang ajar ini terselip di antara mereka. Melihat diriku yang lemah dhohir bathin ini, Abuya tertawa renyah. Zaini menyebut namaku di hadapan Abuya. Aku salami tangan itu dan aku ciumi plus lututnya.
Bunga-bunga cinta bersemi kembali. Aroma asmara tercium mewangi. Barokah dari sang wali.
Khataman yang kedua, pada hari kamis tadi pagi, 26 Muharram 1438. Pengajian umum kitab Ihya setiap kamis pagi itu juga sampai di ujungnya. Entah berapa tahun lamanya, pengajian ihya setiap kamis itu berjalan. Biasanya, satu dua tiga halaman dibaca dan diterangkan setiap kamis pagi. Seingatku,dulu pertama aku ikut masih juz tiga dibaca Abuya. Tak kuduga kitab ihya' itu dihatamkan di tangan sang putra, habib Abdul Qadir Assegaf.
Sayangnya dalam khataman pertama kali ini, alfaqir tidak menghadirinya. Memang dasar pemalas datangnya terlambat. Murid telatan ini tiba di majlis ketika Kitab Riyadussolihin sedang dibaca. "Dari mana saja kok terlambat," kata Cak Mas'ud menegurku.
Menyesal rasanya. Semoga Allah mengampuni dosa alfaqir dan berkenan menciprati alfaqir dengan barokah majlis rintisan wali qutub yang di Gersik itu. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar