Kamis, 18 November 2010

Idul Adha Yang Indah

Hari raya Idul Adha 1431 Hijriah terasa begitu lengkap. Setelah aku bersalaman dengan kedua orang tuaku, aku bisa bersalaman dan mengucapkan minal aidin wal faizin dengan guruku tercinta, Alhabib Ahmad bin Husein Assegaf. Sebuah kesempatan yang sangat berharga bagi seorang murid yang penuh dengan kekurang-ajaran sepertiku. Harapanku, dengan menyentuh tangan mulia itu aku bisa mendapat ampunan dan bisa menghapus segala dosaku.

Pertemuan yang sebelumnya tidak aku rencanakan itu terjadi di dapur pondok. Pada mulanya aku datang ke pondok untuk mengambil MP4 yang berisi rekaman pengajian Hikam. Aku cari Taufiq pemegang MP4 itu. Ia tidak ada.

“Yang berkurban kambing dipanggil Abuya ke dapur,” seorang santri memanggil dengan suara agak keras sembari mencari-cari. Pondok kelihatan sepi. Ada dua tiga orang yang aku lihat masih bertahan di pondok. Yang lain entah keluar kemana. Liburan Idul Adha tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. Walau mereka tidak boleh pulang ke rumah tapi mereka diperbolehkan keluar pondok di siang hari asalkan mereka melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di pondok.

“Abuya di dapur?” tanyaku pada santri yang baru datang dari dapur pondok itu.

“Iya,”anggukan kepala menyertai ucapannya.

Abuya. Artinya ayahku. Sebutan itu disandangkan kepada Habib Ahmad Assegaf oleh murid-muridnya. Memang ia adalah ayah bagi mereka. Bahkan, kasih sayangnya kepada murid-muridnya melebihi kasih sayang ayah kandung mereka sendiri. Itulah yang aku rasakan.

Dengan semangat penuh aku melangkahkan kakiku ke dapur. Entah. Apakah kerinduan yang menyeretku ke sana, ataukah penyesalan atas segala ketidaksopananku yang menarik langkahku menuju guruku itu.

Di ujung selatan dapur aku lihat Abuya sedang berbincang dengan Pak Muhsin, seseorang yang aku kenal sebagai juru parkir setiap acara pengajian yang diasuh Abuya dilaksanakan. Abuya memakai kopiyah putih. Baju takwanya putih. Wajahnya juga tampak putih bersinar secerah sinar matahari pagi hari ini.

“Mana anak-anak yang berkurban kambing?” tanya Abuya kepadaku dari jauh.

Ada di belakang saya,” jawabku sebisanya.

Aku semakin mendekat kepada Abuya. Abuya menyapaku setelah melihat sosokku lebih dekat. Aku salami tanganya yang halus itu.

Minal Aidin wal faizin,” ucap Abuya kepadaku hampir bersamaan dengan ucapanku yang sama.

“Bagaimana pengajian Aswaja di rumahmu?” Abuya menanyakan pelaksanakan pengajian keliling Jam’iyah Ahlussunnah Waljamaah yang rutin dilakukan setiap malam Ahad setengah bulan sekali. Ketepatan malam Ahad 7 Dzul Hijjah 1431 H kemarin bertempat di rumah.

“Alhamdulillah, sukses,” jawabku.

“Katanya ada pengawalan dari polisi.”

“Naam.”

“Saya menginginkan pengajian itu semakin besar. Sampai lima ratus sepeda motor lebih baik. Polisi tanpa diminta memberi pengawalan. Seperti di Jakarta. Pemerintah sekarang merangkul FPI. Organisasi itu didekati oleh pemerintah. Terjadi perjanjian agar FPI yang memberi tahu kemungkaran. Polisi yang bergerak. Sebenarnya, seperti disebut dalam Ihya dalam Bab Hisbah, munkarus syawari’ itu tugas pemerintah untuk menghilangkannya,” ucap beliau. Aku mengangguk-anggukkan kepala.

Badawi datang. Anak kecil itu adalah salah satu santri yang berkurban kambing dari beberapa santri yang lain. Aku lihat ada delapan kambing di halaman dapur. Ada satu lagi yang datang. Anak kecil agak gemuk. Aku tidak tahu namanya. Dia juga seorang pengkurban kambing.

“Yang lain keluar,” ucap santri yang disuruh memanggil itu kepada Abuya. Dua santri itu didekati Abuya. Mereka berdua dituntun lafad taukil kurban.

“Sudah, Pak Muhsin. Bawa kambing-kambing ini ke Ahmad Cek Wing untuk disembelih dan di potong-potong di sana. Ini ongkosnya. Kambing saya dan tiga kambing ini. Yang lain disembelih besok,” perintah Abuya kepada Pak Muhsin. Empat kambing dibawa keluar. Aku lihat kambing kurban Abuya adalah kambing yang paling bagus di antara kambing-kambing itu.

“Habib Abdul Qadir khutbah ke Prigen,” kata Pak Muhsin.

“Biar ia dakwah di luar. Saya cukup di dalam. Dia jadi corong saya di luar,” ujar Abuya.

Abdul Majid dan Taufiq beserta beberapa santri tiba. Mereka bersalaman dengan Abuya. Pak Muhsin sudah pergi. Sambil berdiri Abuya menyirami kami dengan wejangan yang berharga. Di antaranya:

“Bekal bagi seorang khotib cukup sedikit pengetahuan tentang fikih. Cukup bab ibadat saja. Juga Nahwu. Saya ingin nahwunya waladi Abdul Qadir ditingkatkan ke Mutammimah. Saya mengajarkan matan jurmiyah kepada Uraidhi dan Adeni. Pakai kitab Mukhtasor Jiddan karangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Saya lihat di syarahnya banyak faedah-faedah yang ajibah. Timbul semangat lagi untuk mempelajari Nahwu. Saya dapat faedah dari syarahnya. Yang saya ajarkan matannya.”

“Apalagi kalau membaca Kitab Syudzurud dzahabi. Di situ banyak dibawa ikhtilaf. Kitab Syudzurud dzahabi milik saya penuh dengan catatan-catatan dari guru saya di Mekkah, Syekh Abdullah Dardum yang dijuluki sebagai Sibaweh Mekkah. Ia murid dari Syekh Ali bin Husein Almaliki pakar nahwu yang bisa meng-I’rob satu ayat dengan belasan I’rob. Saya dan Sholeh Alidrus adalah murid yang rajin mencatat keterangan guru. Catatan-catatan itu bermanfaat sekarang.”

“Masa-masa ketika di Mekkah adalah ayyamus shafa. Walau guru saya mengajar nahwu tapi diarahkan ke tasawuf. Diselingi dengan cerita-cerita sufi. Akhirnya, walau pelajaran nahwu tapi kawan-kawan senang. Bahkan mereka berebut duduk didepan. Ada cerita ahli nahwu yang dites oleh Khidir. Ia disuruh mengikrob lafad yang artinya mengarah kepada Allah. Banyak orang sampai kepada Allah berkat mengajar nahwu atau arabiah. Abuya maliki berkata, ‘Di Mekah sini ada orang yang sampai kepada Allah berkat nahwu.’ Mungkin gara-gara niatnya yang baik. Seperti, untuk memahamkan orang kepada Alquran dan hadis.”

“Banyak orang masuk syurga dan jadi wali gara-gara amal kecil. Itu adalah rahasia Allah. Syibaweh dimimpikan bahwa ia masuk syurga sebab ia mengatakan bahwa lafdz jalalah adalah A’raful maarif. Almuhasibi gara-gara memuliakan kertas bertuliskan nama Allah ia menjadi wali. Ada yang gara-gara tintanya dimakan lalat. Imam Syafi’i dimimpikan, gara-gara syigat shalawat yang ia tulis di akhir Arrisalah ia mendapat ridha Allah. Itu semua sebab.”

“Nostalgia mengingat masa-masa itu sangat menyenangkan. Hidup kala itu seperti di syurga. Bagaimana tidak. Di Mekkah bisa bertemu banyak ulama dan auliya, orang-orang besar. Bertemu dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Aku catat perbincangannya dengan Abuya Maliki dan kata-katanya ketika menyampaikan pidato di depan para ulama di rumah Abuya. Banyak ulama Azhar yang datang, para ahli hadis dan yang lainnya. Aku juga bertemu dengan ulama-ulama Syam. Banyak dari mereka adalah Abdal. Mereka ahli ilmu dhahir tapi juga punya ilmu hakekat. Ada seorang ulama dari Syam datang ke rumah Abuya. Ia hanya titip salam kepada Abuya lewat salah satu murid Abuya. ‘Kalau ia datang mintalah doa kepadanya. Dia minal Abdal,’pesan Abuya kepada murid-muridnya.”

“Memang para ulama itu banyak Abdal. Nawawi itu abdal. Waqila taqattaba fi akhiri umrih. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang para wali abdal, ia menjawab, ‘Kalau bukan ahli hadis lalu siapa mereka?’ Artinya, seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya. Seperti Kiai Hamid, ia menguasai dua belas ilmu. Saya bermimpi Kiai Hamid membacakan Al-Qur’an dengan berbagai qira’ah. Berarti ia juga pandai ilmu qiraah. Tapi ilmunya itu akhirnya tertutup dengan kewaliaannya. Ia sudah tidak banyak berbicara lagi. Ia disibukkan dengan yang lain. Abuya Maliki juga. Di akhir-akhir umur ia tidak banyak berbicara ilmu.Menyampaikan hadispun hanya bilmakna. Padahal ia hafal lafadnya.”

Mutiara-mutiara hikmah terus mengalir dari mulut Abuya. Sesekali aku pandangi wajahnya yang bagus itu. Bukankah memandang wajah orang alim itu ibadah. Badawi, khadim Abuya, membawa kursi dan meletakkannya di samping Abuya agar diduduki. Kasihan beliau. Dari tadi hanya berdiri. Tapi Abuya tetap berdiri.

Al-afwu, terlalu panjang. Memang enak kalau bicara hal-hal seperti ini langsung dengan orang yang ahlinya. Talaqqi. Kalau bicara lewat telepon, seperti dengan Thohir, kurang asyik,” kata Abuya kepada kami.

Tuhfatul Ied,” jawabku. Abuya tertawa ringan.

Sore harinya, tuhfatul ied masih menghujani diriku. Abdul Halim brewok ke rumah. Ia membawa sekantong plastik besar berisi daging kambing plus satu kepala. Dari Abuya,katanya. Sebelumnya, Mustofa menelponku menanyakan keberadaanku. Masih sempat-sempatnya Abuya mengingat murid pendosa ini. Aku hanya bisa memandangi kekurangajaranku dengan penuh rasa malu. Ied mubarak.

Rombo Kulon,11 Dzul Hijjah1431 H

Idul Adha Yang Indah


Hari raya Idul Adha 1431 Hijriah terasa begitu lengkap. Setelah aku bersalaman dengan kedua orang tuaku, aku bisa bersalaman dan mengucapkan minal aidin wal faizin dengan guruku tercinta, Alhabib Ahmad bin Husein Assegaf. Sebuah kesempatan yang sangat berharga bagi seorang murid yang penuh dengan kekurang-ajaran sepertiku. Harapanku, dengan menyentuh tangan mulia itu aku bisa mendapat ampunan dan bisa menghapus segala dosaku
.

Pertemuan yang sebelumnya tidak aku rencanakan itu terjadi di dapur pondok. Pada mulanya aku datang ke pondok untuk mengambil MP4 yang berisi rekaman pengajian Hikam. Aku cari Taufiq pemegang MP4 itu. Ia tidak ada.

“Yang berkurban kambing dipanggil Abuya ke dapur,” seorang santri memanggil dengan suara agak keras sembari mencari-cari. Pondok kelihatan sepi. Ada dua tiga orang yang aku lihat masih bertahan di pondok. Yang lain entah keluar kemana. Liburan Idul Adha tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. Walau mereka tidak boleh pulang ke rumah tapi mereka diperbolehkan keluar pondok di siang hari asalkan mereka melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di pondok.

“Abuya di dapur?” tanyaku pada santri yang baru datang dari dapur pondok itu.

“Iya,”anggukan kepala menyertai ucapannya.

Abuya. Artinya ayahku. Sebutan itu disandangkan kepada Habib Ahmad Assegaf oleh murid-muridnya. Memang ia adalah ayah bagi mereka. Bahkan, kasih sayangnya kepada murid-muridnya melebihi kasih sayang ayah kandung mereka sendiri. Itulah yang aku rasakan.

Dengan semangat penuh aku melangkahkan kakiku ke dapur. Entah. Apakah kerinduan yang menyeretku ke sana, ataukah penyesalan atas segala ketidaksopananku yang menarik langkahku menuju guruku itu.

Di ujung selatan dapur aku lihat Abuya sedang berbincang dengan Pak Muhsin, seseorang yang aku kenal sebagai juru parkir setiap acara pengajian yang diasuh Abuya dilaksanakan. Abuya memakai kopiyah putih. Baju takwanya putih. Wajahnya juga tampak putih bersinar secerah sinar matahari pagi hari ini.

“Mana anak-anak yang berkurban kambing?” tanya Abuya kepadaku dari jauh.

Ada di belakang saya,” jawabku sebisanya.

Aku semakin mendekat kepada Abuya. Abuya menyapaku setelah melihat sosokku lebih dekat. Aku salami tanganya yang halus itu.

Minal Aidin wal faizin,” ucap Abuya kepadaku hampir bersamaan dengan ucapanku yang sama.

“Bagaimana pengajian Aswaja di rumahmu?” Abuya menanyakan pelaksanakan pengajian keliling Jam’iyah Ahlussunnah Waljamaah yang rutin dilakukan setiap malam Ahad setengah bulan sekali. Ketepatan malam Ahad 7 Dzul Hijjah 1431 H kemarin bertempat di rumah.

“Alhamdulillah, sukses,” jawabku.

“Katanya ada pengawalan dari polisi.”

“Naam.”

“Saya menginginkan pengajian itu semakin besar. Sampai lima ratus sepeda motor lebih baik. Polisi tanpa diminta memberi pengawalan. Seperti di Jakarta. Pemerintah sekarang merangkul FPI. Organisasi itu didekati oleh pemerintah. Terjadi perjanjian agar FPI yang memberi tahu kemungkaran. Polisi yang bergerak. Sebenarnya, seperti disebut dalam Ihya dalam Bab Hisbah, munkarus syawari’ itu tugas pemerintah untuk menghilangkannya,” ucap beliau. Aku mengangguk-anggukkan kepala.

Badawi datang. Anak kecil itu adalah salah satu santri yang berkurban kambing dari beberapa santri yang lain. Aku lihat ada delapan kambing di halaman dapur. Ada satu lagi yang datang. Anak kecil agak gemuk. Aku tidak tahu namanya. Dia juga seorang pengkurban kambing.

“Yang lain keluar,” ucap santri yang disuruh memanggil itu kepada Abuya. Dua santri itu didekati Abuya. Mereka berdua dituntun lafad taukil kurban.

“Sudah, Pak Muhsin. Bawa kambing-kambing ini ke Ahmad Cek Wing untuk disembelih dan di potong-potong di sana. Ini ongkosnya. Kambing saya dan tiga kambing ini. Yang lain disembelih besok,” perintah Abuya kepada Pak Muhsin. Empat kambing dibawa keluar. Aku lihat kambing kurban Abuya adalah kambing yang paling bagus di antara kambing-kambing itu.

“Habib Abdul Qadir khutbah ke Prigen,” kata Pak Muhsin.

“Biar ia dakwah di luar. Saya cukup di dalam. Dia jadi corong saya di luar,” ujar Abuya.

Abdul Majid dan Taufiq beserta beberapa santri tiba. Mereka bersalaman dengan Abuya. Pak Muhsin sudah pergi. Sambil berdiri Abuya menyirami kami dengan wejangan yang berharga. Di antaranya:

“Bekal bagi seorang khotib cukup sedikit pengetahuan tentang fikih. Cukup bab ibadat saja. Juga Nahwu. Saya ingin nahwunya waladi Abdul Qadir ditingkatkan ke Mutammimah. Saya mengajarkan matan jurmiyah kepada Uraidhi dan Adeni. Pakai kitab Mukhtasor Jiddan karangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Saya lihat di syarahnya banyak faedah-faedah yang ajibah. Timbul semangat lagi untuk mempelajari Nahwu. Saya dapat faedah dari syarahnya. Yang saya ajarkan matannya.”

“Apalagi kalau membaca Kitab Syudzurud dzahabi. Di situ banyak dibawa ikhtilaf. Kitab Syudzurud dzahabi milik saya penuh dengan catatan-catatan dari guru saya di Mekkah, Syekh Abdullah Dardum yang dijuluki sebagai Sibaweh Mekkah. Ia murid dari Syekh Ali bin Husein Almaliki pakar nahwu yang bisa meng-I’rob satu ayat dengan belasan I’rob. Saya dan Sholeh Alidrus adalah murid yang rajin mencatat keterangan guru. Catatan-catatan itu bermanfaat sekarang.”

“Masa-masa ketika di Mekkah adalah ayyamus shafa. Walau guru saya mengajar nahwu tapi diarahkan ke tasawuf. Diselingi dengan cerita-cerita sufi. Akhirnya, walau pelajaran nahwu tapi kawan-kawan senang. Bahkan mereka berebut duduk didepan. Ada cerita ahli nahwu yang dites oleh Khidir. Ia disuruh mengikrob lafad yang artinya mengarah kepada Allah. Banyak orang sampai kepada Allah berkat mengajar nahwu atau arabiah. Abuya maliki berkata, ‘Di Mekah sini ada orang yang sampai kepada Allah berkat nahwu.’ Mungkin gara-gara niatnya yang baik. Seperti, untuk memahamkan orang kepada Alquran dan hadis.”

“Banyak orang masuk syurga dan jadi wali gara-gara amal kecil. Itu adalah rahasia Allah. Syibaweh dimimpikan bahwa ia masuk syurga sebab ia mengatakan bahwa lafdz jalalah adalah A’raful maarif. Almuhasibi gara-gara memuliaka kertas bertuliskan nama Allah ia menjadi wali. Ada yang gara-gara tintanya dimakan lalat. Imam Syafi’i dimimpikan, gara-gara syigat shalawat yang ia tulis di akhir Arrisalah ia mendapat ridha Allah. Itu semua sebab.”

“Nostalgia mengingat masa-masa itu sangat menyenangkan. Hidup kala itu seperti di syurga. Bagaimana tidak. Di Mekkah bisa bertemu banyak ulama dan auliya, orang-orang besar. Bertemu dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Aku catat perbincangannya dengan Abuya Maliki dan kata-katanya ketika menyampaikan pidato di depan para ulama di rumah Abuya. Banyak ulama Azhar yang datang, para ahli hadis dan yang lainnya. Aku juga bertemu dengan ulama-ulama Syam. Banyak dari mereka adalah Abdal. Mereka ahli ilmu dhahir tapi juga punya ilmu hakekat. Ada seorang ulama dari Syam datang ke rumah Abuya. Ia hanya titip salam kepada Abuya lewat salah satu murid Abuya. ‘Kalau ia datang mintalah doa kepadanya. Dia minal Abdal,’pesan Abuya kepada murid-muridnya.”

“Memang para ulama itu banyak Abdal. Nawawi itu abdal. Waqila taqattaba fi akhiri umrih. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang para wali abdal, ia menjawab, ‘Kalau bukan ahli hadis lalu siapa mereka?’ Artinya, seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya. Seperti Kiai Hamid, ia menguasai dua belas ilmu. Saya bermimpi Kiai Hamid membacakan Al-Qur’an dengan berbagai qira’ah. Berarti ia juga pandai ilmu qiraah. Tapi ilmunya itu akhirnya tertutup dengan kewaliaannya. Ia sudah tidak banyak berbicara lagi. Ia disibukkan dengan yang lain. Abuya Maliki juga. Di akhir-akhir umur ia tidak banyak berbicara ilmu.Menyampaikan hadispun hanya bilmakna. Padahal ia hafal lafadnya.”

Mutiara-mutiara hikmah terus mengalir dari mulut Abuya. Sesekali aku pandangi wajahnya yang bagus itu. Bukankah memandang wajah orang alim itu ibadah. Badawi, khadim Abuya, membawa kursi dan meletakkannya di samping Abuya agar diduduki. Kasihan beliau. Dari tadi hanya berdiri. Tapi Abuya tetap berdiri.

Al-afwu, terlalu panjang. Memang enak kalau bicara hal-hal seperti ini langsung dengan orang yang ahlinya. Talaqqi. Kalau bicara lewat telepon, seperti dengan Thohir, kurang asyik,” kata Abuya kepada kami.

Tuhfatul Ied,” jawabku. Abuya tertawa ringan.

Sore harinya, tuhfatul ied masih menghujani diriku. Abdul Halim brewok ke rumah. Ia membawa sekantong plastik besar berisi daging kambing plus satu kepala. Dari Abuya,katanya. Sebelumnya, Mustofa menelponku menanyakan keberadaanku. Masih sempat-sempatnya Abuya mengingat murid pendosa ini. Aku hanya bisa memandangi kekurangajaranku dengan penuh rasa malu. Ied mubarak.

Rombo Kulon,11 Dzul Hijjah1431 H