Kamis, 18 November 2010

Idul Adha Yang Indah

Hari raya Idul Adha 1431 Hijriah terasa begitu lengkap. Setelah aku bersalaman dengan kedua orang tuaku, aku bisa bersalaman dan mengucapkan minal aidin wal faizin dengan guruku tercinta, Alhabib Ahmad bin Husein Assegaf. Sebuah kesempatan yang sangat berharga bagi seorang murid yang penuh dengan kekurang-ajaran sepertiku. Harapanku, dengan menyentuh tangan mulia itu aku bisa mendapat ampunan dan bisa menghapus segala dosaku.

Pertemuan yang sebelumnya tidak aku rencanakan itu terjadi di dapur pondok. Pada mulanya aku datang ke pondok untuk mengambil MP4 yang berisi rekaman pengajian Hikam. Aku cari Taufiq pemegang MP4 itu. Ia tidak ada.

“Yang berkurban kambing dipanggil Abuya ke dapur,” seorang santri memanggil dengan suara agak keras sembari mencari-cari. Pondok kelihatan sepi. Ada dua tiga orang yang aku lihat masih bertahan di pondok. Yang lain entah keluar kemana. Liburan Idul Adha tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. Walau mereka tidak boleh pulang ke rumah tapi mereka diperbolehkan keluar pondok di siang hari asalkan mereka melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di pondok.

“Abuya di dapur?” tanyaku pada santri yang baru datang dari dapur pondok itu.

“Iya,”anggukan kepala menyertai ucapannya.

Abuya. Artinya ayahku. Sebutan itu disandangkan kepada Habib Ahmad Assegaf oleh murid-muridnya. Memang ia adalah ayah bagi mereka. Bahkan, kasih sayangnya kepada murid-muridnya melebihi kasih sayang ayah kandung mereka sendiri. Itulah yang aku rasakan.

Dengan semangat penuh aku melangkahkan kakiku ke dapur. Entah. Apakah kerinduan yang menyeretku ke sana, ataukah penyesalan atas segala ketidaksopananku yang menarik langkahku menuju guruku itu.

Di ujung selatan dapur aku lihat Abuya sedang berbincang dengan Pak Muhsin, seseorang yang aku kenal sebagai juru parkir setiap acara pengajian yang diasuh Abuya dilaksanakan. Abuya memakai kopiyah putih. Baju takwanya putih. Wajahnya juga tampak putih bersinar secerah sinar matahari pagi hari ini.

“Mana anak-anak yang berkurban kambing?” tanya Abuya kepadaku dari jauh.

Ada di belakang saya,” jawabku sebisanya.

Aku semakin mendekat kepada Abuya. Abuya menyapaku setelah melihat sosokku lebih dekat. Aku salami tanganya yang halus itu.

Minal Aidin wal faizin,” ucap Abuya kepadaku hampir bersamaan dengan ucapanku yang sama.

“Bagaimana pengajian Aswaja di rumahmu?” Abuya menanyakan pelaksanakan pengajian keliling Jam’iyah Ahlussunnah Waljamaah yang rutin dilakukan setiap malam Ahad setengah bulan sekali. Ketepatan malam Ahad 7 Dzul Hijjah 1431 H kemarin bertempat di rumah.

“Alhamdulillah, sukses,” jawabku.

“Katanya ada pengawalan dari polisi.”

“Naam.”

“Saya menginginkan pengajian itu semakin besar. Sampai lima ratus sepeda motor lebih baik. Polisi tanpa diminta memberi pengawalan. Seperti di Jakarta. Pemerintah sekarang merangkul FPI. Organisasi itu didekati oleh pemerintah. Terjadi perjanjian agar FPI yang memberi tahu kemungkaran. Polisi yang bergerak. Sebenarnya, seperti disebut dalam Ihya dalam Bab Hisbah, munkarus syawari’ itu tugas pemerintah untuk menghilangkannya,” ucap beliau. Aku mengangguk-anggukkan kepala.

Badawi datang. Anak kecil itu adalah salah satu santri yang berkurban kambing dari beberapa santri yang lain. Aku lihat ada delapan kambing di halaman dapur. Ada satu lagi yang datang. Anak kecil agak gemuk. Aku tidak tahu namanya. Dia juga seorang pengkurban kambing.

“Yang lain keluar,” ucap santri yang disuruh memanggil itu kepada Abuya. Dua santri itu didekati Abuya. Mereka berdua dituntun lafad taukil kurban.

“Sudah, Pak Muhsin. Bawa kambing-kambing ini ke Ahmad Cek Wing untuk disembelih dan di potong-potong di sana. Ini ongkosnya. Kambing saya dan tiga kambing ini. Yang lain disembelih besok,” perintah Abuya kepada Pak Muhsin. Empat kambing dibawa keluar. Aku lihat kambing kurban Abuya adalah kambing yang paling bagus di antara kambing-kambing itu.

“Habib Abdul Qadir khutbah ke Prigen,” kata Pak Muhsin.

“Biar ia dakwah di luar. Saya cukup di dalam. Dia jadi corong saya di luar,” ujar Abuya.

Abdul Majid dan Taufiq beserta beberapa santri tiba. Mereka bersalaman dengan Abuya. Pak Muhsin sudah pergi. Sambil berdiri Abuya menyirami kami dengan wejangan yang berharga. Di antaranya:

“Bekal bagi seorang khotib cukup sedikit pengetahuan tentang fikih. Cukup bab ibadat saja. Juga Nahwu. Saya ingin nahwunya waladi Abdul Qadir ditingkatkan ke Mutammimah. Saya mengajarkan matan jurmiyah kepada Uraidhi dan Adeni. Pakai kitab Mukhtasor Jiddan karangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Saya lihat di syarahnya banyak faedah-faedah yang ajibah. Timbul semangat lagi untuk mempelajari Nahwu. Saya dapat faedah dari syarahnya. Yang saya ajarkan matannya.”

“Apalagi kalau membaca Kitab Syudzurud dzahabi. Di situ banyak dibawa ikhtilaf. Kitab Syudzurud dzahabi milik saya penuh dengan catatan-catatan dari guru saya di Mekkah, Syekh Abdullah Dardum yang dijuluki sebagai Sibaweh Mekkah. Ia murid dari Syekh Ali bin Husein Almaliki pakar nahwu yang bisa meng-I’rob satu ayat dengan belasan I’rob. Saya dan Sholeh Alidrus adalah murid yang rajin mencatat keterangan guru. Catatan-catatan itu bermanfaat sekarang.”

“Masa-masa ketika di Mekkah adalah ayyamus shafa. Walau guru saya mengajar nahwu tapi diarahkan ke tasawuf. Diselingi dengan cerita-cerita sufi. Akhirnya, walau pelajaran nahwu tapi kawan-kawan senang. Bahkan mereka berebut duduk didepan. Ada cerita ahli nahwu yang dites oleh Khidir. Ia disuruh mengikrob lafad yang artinya mengarah kepada Allah. Banyak orang sampai kepada Allah berkat mengajar nahwu atau arabiah. Abuya maliki berkata, ‘Di Mekah sini ada orang yang sampai kepada Allah berkat nahwu.’ Mungkin gara-gara niatnya yang baik. Seperti, untuk memahamkan orang kepada Alquran dan hadis.”

“Banyak orang masuk syurga dan jadi wali gara-gara amal kecil. Itu adalah rahasia Allah. Syibaweh dimimpikan bahwa ia masuk syurga sebab ia mengatakan bahwa lafdz jalalah adalah A’raful maarif. Almuhasibi gara-gara memuliakan kertas bertuliskan nama Allah ia menjadi wali. Ada yang gara-gara tintanya dimakan lalat. Imam Syafi’i dimimpikan, gara-gara syigat shalawat yang ia tulis di akhir Arrisalah ia mendapat ridha Allah. Itu semua sebab.”

“Nostalgia mengingat masa-masa itu sangat menyenangkan. Hidup kala itu seperti di syurga. Bagaimana tidak. Di Mekkah bisa bertemu banyak ulama dan auliya, orang-orang besar. Bertemu dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Aku catat perbincangannya dengan Abuya Maliki dan kata-katanya ketika menyampaikan pidato di depan para ulama di rumah Abuya. Banyak ulama Azhar yang datang, para ahli hadis dan yang lainnya. Aku juga bertemu dengan ulama-ulama Syam. Banyak dari mereka adalah Abdal. Mereka ahli ilmu dhahir tapi juga punya ilmu hakekat. Ada seorang ulama dari Syam datang ke rumah Abuya. Ia hanya titip salam kepada Abuya lewat salah satu murid Abuya. ‘Kalau ia datang mintalah doa kepadanya. Dia minal Abdal,’pesan Abuya kepada murid-muridnya.”

“Memang para ulama itu banyak Abdal. Nawawi itu abdal. Waqila taqattaba fi akhiri umrih. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang para wali abdal, ia menjawab, ‘Kalau bukan ahli hadis lalu siapa mereka?’ Artinya, seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya. Seperti Kiai Hamid, ia menguasai dua belas ilmu. Saya bermimpi Kiai Hamid membacakan Al-Qur’an dengan berbagai qira’ah. Berarti ia juga pandai ilmu qiraah. Tapi ilmunya itu akhirnya tertutup dengan kewaliaannya. Ia sudah tidak banyak berbicara lagi. Ia disibukkan dengan yang lain. Abuya Maliki juga. Di akhir-akhir umur ia tidak banyak berbicara ilmu.Menyampaikan hadispun hanya bilmakna. Padahal ia hafal lafadnya.”

Mutiara-mutiara hikmah terus mengalir dari mulut Abuya. Sesekali aku pandangi wajahnya yang bagus itu. Bukankah memandang wajah orang alim itu ibadah. Badawi, khadim Abuya, membawa kursi dan meletakkannya di samping Abuya agar diduduki. Kasihan beliau. Dari tadi hanya berdiri. Tapi Abuya tetap berdiri.

Al-afwu, terlalu panjang. Memang enak kalau bicara hal-hal seperti ini langsung dengan orang yang ahlinya. Talaqqi. Kalau bicara lewat telepon, seperti dengan Thohir, kurang asyik,” kata Abuya kepada kami.

Tuhfatul Ied,” jawabku. Abuya tertawa ringan.

Sore harinya, tuhfatul ied masih menghujani diriku. Abdul Halim brewok ke rumah. Ia membawa sekantong plastik besar berisi daging kambing plus satu kepala. Dari Abuya,katanya. Sebelumnya, Mustofa menelponku menanyakan keberadaanku. Masih sempat-sempatnya Abuya mengingat murid pendosa ini. Aku hanya bisa memandangi kekurangajaranku dengan penuh rasa malu. Ied mubarak.

Rombo Kulon,11 Dzul Hijjah1431 H

Idul Adha Yang Indah


Hari raya Idul Adha 1431 Hijriah terasa begitu lengkap. Setelah aku bersalaman dengan kedua orang tuaku, aku bisa bersalaman dan mengucapkan minal aidin wal faizin dengan guruku tercinta, Alhabib Ahmad bin Husein Assegaf. Sebuah kesempatan yang sangat berharga bagi seorang murid yang penuh dengan kekurang-ajaran sepertiku. Harapanku, dengan menyentuh tangan mulia itu aku bisa mendapat ampunan dan bisa menghapus segala dosaku
.

Pertemuan yang sebelumnya tidak aku rencanakan itu terjadi di dapur pondok. Pada mulanya aku datang ke pondok untuk mengambil MP4 yang berisi rekaman pengajian Hikam. Aku cari Taufiq pemegang MP4 itu. Ia tidak ada.

“Yang berkurban kambing dipanggil Abuya ke dapur,” seorang santri memanggil dengan suara agak keras sembari mencari-cari. Pondok kelihatan sepi. Ada dua tiga orang yang aku lihat masih bertahan di pondok. Yang lain entah keluar kemana. Liburan Idul Adha tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. Walau mereka tidak boleh pulang ke rumah tapi mereka diperbolehkan keluar pondok di siang hari asalkan mereka melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di pondok.

“Abuya di dapur?” tanyaku pada santri yang baru datang dari dapur pondok itu.

“Iya,”anggukan kepala menyertai ucapannya.

Abuya. Artinya ayahku. Sebutan itu disandangkan kepada Habib Ahmad Assegaf oleh murid-muridnya. Memang ia adalah ayah bagi mereka. Bahkan, kasih sayangnya kepada murid-muridnya melebihi kasih sayang ayah kandung mereka sendiri. Itulah yang aku rasakan.

Dengan semangat penuh aku melangkahkan kakiku ke dapur. Entah. Apakah kerinduan yang menyeretku ke sana, ataukah penyesalan atas segala ketidaksopananku yang menarik langkahku menuju guruku itu.

Di ujung selatan dapur aku lihat Abuya sedang berbincang dengan Pak Muhsin, seseorang yang aku kenal sebagai juru parkir setiap acara pengajian yang diasuh Abuya dilaksanakan. Abuya memakai kopiyah putih. Baju takwanya putih. Wajahnya juga tampak putih bersinar secerah sinar matahari pagi hari ini.

“Mana anak-anak yang berkurban kambing?” tanya Abuya kepadaku dari jauh.

Ada di belakang saya,” jawabku sebisanya.

Aku semakin mendekat kepada Abuya. Abuya menyapaku setelah melihat sosokku lebih dekat. Aku salami tanganya yang halus itu.

Minal Aidin wal faizin,” ucap Abuya kepadaku hampir bersamaan dengan ucapanku yang sama.

“Bagaimana pengajian Aswaja di rumahmu?” Abuya menanyakan pelaksanakan pengajian keliling Jam’iyah Ahlussunnah Waljamaah yang rutin dilakukan setiap malam Ahad setengah bulan sekali. Ketepatan malam Ahad 7 Dzul Hijjah 1431 H kemarin bertempat di rumah.

“Alhamdulillah, sukses,” jawabku.

“Katanya ada pengawalan dari polisi.”

“Naam.”

“Saya menginginkan pengajian itu semakin besar. Sampai lima ratus sepeda motor lebih baik. Polisi tanpa diminta memberi pengawalan. Seperti di Jakarta. Pemerintah sekarang merangkul FPI. Organisasi itu didekati oleh pemerintah. Terjadi perjanjian agar FPI yang memberi tahu kemungkaran. Polisi yang bergerak. Sebenarnya, seperti disebut dalam Ihya dalam Bab Hisbah, munkarus syawari’ itu tugas pemerintah untuk menghilangkannya,” ucap beliau. Aku mengangguk-anggukkan kepala.

Badawi datang. Anak kecil itu adalah salah satu santri yang berkurban kambing dari beberapa santri yang lain. Aku lihat ada delapan kambing di halaman dapur. Ada satu lagi yang datang. Anak kecil agak gemuk. Aku tidak tahu namanya. Dia juga seorang pengkurban kambing.

“Yang lain keluar,” ucap santri yang disuruh memanggil itu kepada Abuya. Dua santri itu didekati Abuya. Mereka berdua dituntun lafad taukil kurban.

“Sudah, Pak Muhsin. Bawa kambing-kambing ini ke Ahmad Cek Wing untuk disembelih dan di potong-potong di sana. Ini ongkosnya. Kambing saya dan tiga kambing ini. Yang lain disembelih besok,” perintah Abuya kepada Pak Muhsin. Empat kambing dibawa keluar. Aku lihat kambing kurban Abuya adalah kambing yang paling bagus di antara kambing-kambing itu.

“Habib Abdul Qadir khutbah ke Prigen,” kata Pak Muhsin.

“Biar ia dakwah di luar. Saya cukup di dalam. Dia jadi corong saya di luar,” ujar Abuya.

Abdul Majid dan Taufiq beserta beberapa santri tiba. Mereka bersalaman dengan Abuya. Pak Muhsin sudah pergi. Sambil berdiri Abuya menyirami kami dengan wejangan yang berharga. Di antaranya:

“Bekal bagi seorang khotib cukup sedikit pengetahuan tentang fikih. Cukup bab ibadat saja. Juga Nahwu. Saya ingin nahwunya waladi Abdul Qadir ditingkatkan ke Mutammimah. Saya mengajarkan matan jurmiyah kepada Uraidhi dan Adeni. Pakai kitab Mukhtasor Jiddan karangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Saya lihat di syarahnya banyak faedah-faedah yang ajibah. Timbul semangat lagi untuk mempelajari Nahwu. Saya dapat faedah dari syarahnya. Yang saya ajarkan matannya.”

“Apalagi kalau membaca Kitab Syudzurud dzahabi. Di situ banyak dibawa ikhtilaf. Kitab Syudzurud dzahabi milik saya penuh dengan catatan-catatan dari guru saya di Mekkah, Syekh Abdullah Dardum yang dijuluki sebagai Sibaweh Mekkah. Ia murid dari Syekh Ali bin Husein Almaliki pakar nahwu yang bisa meng-I’rob satu ayat dengan belasan I’rob. Saya dan Sholeh Alidrus adalah murid yang rajin mencatat keterangan guru. Catatan-catatan itu bermanfaat sekarang.”

“Masa-masa ketika di Mekkah adalah ayyamus shafa. Walau guru saya mengajar nahwu tapi diarahkan ke tasawuf. Diselingi dengan cerita-cerita sufi. Akhirnya, walau pelajaran nahwu tapi kawan-kawan senang. Bahkan mereka berebut duduk didepan. Ada cerita ahli nahwu yang dites oleh Khidir. Ia disuruh mengikrob lafad yang artinya mengarah kepada Allah. Banyak orang sampai kepada Allah berkat mengajar nahwu atau arabiah. Abuya maliki berkata, ‘Di Mekah sini ada orang yang sampai kepada Allah berkat nahwu.’ Mungkin gara-gara niatnya yang baik. Seperti, untuk memahamkan orang kepada Alquran dan hadis.”

“Banyak orang masuk syurga dan jadi wali gara-gara amal kecil. Itu adalah rahasia Allah. Syibaweh dimimpikan bahwa ia masuk syurga sebab ia mengatakan bahwa lafdz jalalah adalah A’raful maarif. Almuhasibi gara-gara memuliaka kertas bertuliskan nama Allah ia menjadi wali. Ada yang gara-gara tintanya dimakan lalat. Imam Syafi’i dimimpikan, gara-gara syigat shalawat yang ia tulis di akhir Arrisalah ia mendapat ridha Allah. Itu semua sebab.”

“Nostalgia mengingat masa-masa itu sangat menyenangkan. Hidup kala itu seperti di syurga. Bagaimana tidak. Di Mekkah bisa bertemu banyak ulama dan auliya, orang-orang besar. Bertemu dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Aku catat perbincangannya dengan Abuya Maliki dan kata-katanya ketika menyampaikan pidato di depan para ulama di rumah Abuya. Banyak ulama Azhar yang datang, para ahli hadis dan yang lainnya. Aku juga bertemu dengan ulama-ulama Syam. Banyak dari mereka adalah Abdal. Mereka ahli ilmu dhahir tapi juga punya ilmu hakekat. Ada seorang ulama dari Syam datang ke rumah Abuya. Ia hanya titip salam kepada Abuya lewat salah satu murid Abuya. ‘Kalau ia datang mintalah doa kepadanya. Dia minal Abdal,’pesan Abuya kepada murid-muridnya.”

“Memang para ulama itu banyak Abdal. Nawawi itu abdal. Waqila taqattaba fi akhiri umrih. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang para wali abdal, ia menjawab, ‘Kalau bukan ahli hadis lalu siapa mereka?’ Artinya, seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya. Seperti Kiai Hamid, ia menguasai dua belas ilmu. Saya bermimpi Kiai Hamid membacakan Al-Qur’an dengan berbagai qira’ah. Berarti ia juga pandai ilmu qiraah. Tapi ilmunya itu akhirnya tertutup dengan kewaliaannya. Ia sudah tidak banyak berbicara lagi. Ia disibukkan dengan yang lain. Abuya Maliki juga. Di akhir-akhir umur ia tidak banyak berbicara ilmu.Menyampaikan hadispun hanya bilmakna. Padahal ia hafal lafadnya.”

Mutiara-mutiara hikmah terus mengalir dari mulut Abuya. Sesekali aku pandangi wajahnya yang bagus itu. Bukankah memandang wajah orang alim itu ibadah. Badawi, khadim Abuya, membawa kursi dan meletakkannya di samping Abuya agar diduduki. Kasihan beliau. Dari tadi hanya berdiri. Tapi Abuya tetap berdiri.

Al-afwu, terlalu panjang. Memang enak kalau bicara hal-hal seperti ini langsung dengan orang yang ahlinya. Talaqqi. Kalau bicara lewat telepon, seperti dengan Thohir, kurang asyik,” kata Abuya kepada kami.

Tuhfatul Ied,” jawabku. Abuya tertawa ringan.

Sore harinya, tuhfatul ied masih menghujani diriku. Abdul Halim brewok ke rumah. Ia membawa sekantong plastik besar berisi daging kambing plus satu kepala. Dari Abuya,katanya. Sebelumnya, Mustofa menelponku menanyakan keberadaanku. Masih sempat-sempatnya Abuya mengingat murid pendosa ini. Aku hanya bisa memandangi kekurangajaranku dengan penuh rasa malu. Ied mubarak.

Rombo Kulon,11 Dzul Hijjah1431 H

Rabu, 30 Juni 2010

سيداقري زهرة القلب

سِيْدَاقِرِيْ زَهْرَةُ اْلقَلْبِ
(مخلع البسيط او الموشح)

سيداقري زَهْرَةُ اْلقَلْبِ # وَمَنْبَعُ الْوُدِّ وَالْحُبِّ
إِحْفَظْهُ يَا رَبِّ يَا حَسْبِيْ # مِنْ كُلِّ سُوْءٍ وَمِنْ عَيْبِ

اَوْلَيْتَنَا نِعْمَةً تَتْرَى # أَنْعَمْتَ فَضْلاً وَلاَ حَصْرَ
حَمْدًا يُوَافِيْ لَهَا شُكْرًا # بِالشُّكْرِ تَزْدَادُ مِنْ وَهْبِ

وَهَبْتَنَا نِعْمَةَ اْلإِيْمَانْ # وَصِحَّةَ اْلعَقْلِ وَاْلأَبْدَانْ
فَامْنَحْ لَنَا لَذَّةَ اْلإِحْسَانْ # كَمَا مَنَحْتَ لأَِحْبَابِيْ

مَنْ ذِكْرُهُمْ سَلْوَةُ اْلأُنْسِ # وَسَيْرُهُمْ قُدْوَةُ اْلإِنْسِ
وَوَصْلُهُمْ مُطْرِدُ اْلبُؤْسِ # وَاْلحُبُّ تِرْيَاقُ أَوْصَابِ

أَشْيَاخُ سِيْدَاقِرِيْ حَقًّا # فَذِكْرُهُمْ زَادَنَا عِشْقًا
اُرِيْتُهُمْ مَغْرِبًا شَرْقًا # مِنْ خَيْرِ شَيْخٍ بِلاَ رَيْبِ

رومبو كولون 17 رجب 1431 هـ

Minggu, 23 Mei 2010

Umar Bin Abdul Aziz Digundul Karena Telat Salat

Siapa yang tidak tahu Umar Bin Abdul Aziz, khalifah yang keadilannya melegenda itu. Sepeninggal para khulafarrasyidin, umat islam tidak menemukan pemimpin negara yang adil seperti mereka. Malah sebaliknya, para khalifah Bani Umayyah menyuguhkan panggung sejarah yang bercelemotan dengan darah. Namun dengan naiknya Umar bin Abdul Aziz ke atas kursi khilafah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik maka umat islam menemukan kembali sosok khalifah, pengganti Rasulullah, yang sebenarnya. Kebijakan yang diterapkan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam menjalankan roda kepemerintahannya sama seperti yang diterapkan oleh para kkhulafaarrasyidin yang empat itu, yaitu berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi. Tak heran kalau Sufyan Atssauri berkata: “Khalifah itu ada lima. Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Umar bin Abdul Aziz.”

Kesalehan dan ketakwaan Umar bin Abdul Aziz tidak luput dari peran orang tua dan para pendidiknya di waktu ia masih kanak-kanak. Orang tuanya, Abdul Aziz bin Marwan, sangat memperhatikan pendidikan anak tercintanya tersebut. Walaupun sang anak adalah berasal dari keluarga ningrat Bani Umayyah yang berkuasa kala itu tapi ia tidak dimanja. Bahkan dengan kemauan sendiri Umar bin Abdul Aziz meminta kepada sang ayah untuk dikirim ke Madinah dengan tujuan menimba ilmu dan belajar adab (sopan santun) dari para ulama Madinah. Kala itu sang ayah menjabat sebagai gubernur Mesir.

Salah satu guru Umar bin Abdul Aziz di Madinah adalah Saleh bin Kaisan, seorang ahli hadis dan pendidik yang saleh. Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz telat dari shalat berjamah. Saleh bin Kaisan menegurnya.

“Kenapa kamu telat?”

“Tadi pelayan saya menata rambut saya,” jawab Umar bin Abdul Aziz beralasan.

“Kau lebih mengutamakan hal itu daripada shalat jamaah?” sergah Saleh bin Kaisan dengan nada ingkar.

Kejadian tersebut dilaporkan melalui surat oleh sang kiai, Saleh bin Kaisan, kepada wali santrinya, ayah Umar bin Abdul Aziz di Mesir. Sang ayah menindaklanjuti laporan guru pendidik anaknya itu. Dikirimlah seseorang utusan untuk datang ke Madinah. Utusan itu datang ke Umar bin Abdul Aziz. Tanpa bicara sediktpun sang utusan langsung menggundul rambut Umar bin Abdul Aziz.

Kerjasama antara wali santri dan sang pendidik dalam mensukseskan pendidikan seorang anak didik, seperti yang dilakukan oleh Abdul Aziz bin Marwan dan Saleh bin Kaisan dalam mendidik Umar bin Abdul Aziz ini, patut untuk ditiru dan diterapkan pada zaman sekarang. Gara-gara telat salat jamaah saja langsung diambil tindakan yang cepat. Dicari penyebabnya. Rambut. Maka digundullah mahkota itu sebagai peringatan kepada Umar bin Abdul Aziz agar tidak terlena dengan rambutnya sehingga telat berjamaah. Sekali lagi telat berjamaah bukan tidak salat jamaah, atau tidak salat sama sekali.

Bisa dibayangkan andai yang membikin telat berjamaah itu televisi, PS, internet atau sarana bermain yang lain, tentu semua itu akan di'gunduli'. Entah orang tua sekarang apa bisa.

Sabtu, 15 Mei 2010

وفاة الحبيب علي بن جعفر العيدروس مولى جوهور ماليزيا

>انتقل الى رحمة الله العارف بالله الحبيب علي بن جعفر بن احمد بن عبد القادر العيدروس مساء الخميس 28 جمادى الأولي 1431 هجرية بباتو باهات جوهور ماليزيا
وكان الفقيد مشهورا بالصلاح والزهد والتواضع مع كونه مرجعا للأكابر الصالحين. وقد زاره في حياته كثير من العلماء العظام طالبين منه الدعاء منهم امام اهل السنة والجماعة المرحوم السيد محمد علوي المالكي .وكان رحمه الله مجاب الدعوة وبيته السذج مأوى لمشاكل رواده ومحلا لحل مصاعب حياتهم المتعبة ومنيرا لقلوبهم المظلمة
وبوفاته رحمه الله ازدادت مصائب المسلمين لا سيما بعد ما فقدوا قبل ايام قلائل غوثهم الحبيب عبد القادر بن احمد السقاف رحمه الله.
"ربنا اغفر لنا ولأخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين امنوا ربنا انك رؤوف رحيم"
تغمد الله الفقيد برحمته واسكنه اعلى جناته مع النبي واهل بيته وذريته

Jumat, 14 Mei 2010

Habib Ali bin Jakfar Alaydrus, Batu Pahat Malaysia Meninggal . Bangil Salat Gaib

Jumat malam Sabtu, 01 Jumadassaniah 1431 H, bakda shalat magrib, dilakukan shalat jenazah gaib untuk Alhabib Ali bin Jakfar Alidrus, Malaysia di PP. Darul Ihya Liulumiddin,Bangil. Acara yang diikuti dengan penuh hikmat oleh ratusan anggota pengajian Hikam Jumat sore ini diimami oleh Asayyid Ahmad bin Husein Assegaf, pengasuh pengajian tersebut.
"Almarhum adalah seorang wali besar. Sayyid Muhammad Almaliki pernah datang dan meminta doa kepada beliau di Batu Pahat,Johor, Malaysia," ungkap Habib Ahmad bin Husein Assegaf kepada para hadirin.
Setelah shalat isyak juga dibacakan yasin dan tahlil untuk almarhum yang juga bertepatan dengan empat puluh harinya Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah dan khaulnya Sayyid Nabil bin Ahmad Assegaf, putra pengasuh.
"Semoga arwah mereka diliputi rahmat Allah dan madad mereka mengalir kepada para hadirin dan putra-putra mereka, Amin," sepotong dari lantunan doa yang dikumandangkan Habib Ahmad bin Husein Assegaf di akhir acara.

Habib Ali bin Jakfar bin Ahmad bin Abdul Qadir Alaydrus meninggal pada hari Kamis petang 28 Jumadal Ula 1431 atau 13 Mei 2010.

Rabu, 12 Mei 2010

Siapa Saya?


Anda tahu siapa makhluk terhina? Anda kenal orang yang paling durjana? Itulah saya.
Kenalkan nama saya Ahmad Hidayatullah. Panggil saja Maddayat, sama dengan nama blog jelek ini. Terlahir di Pasuruan 24 Jumadil Akhir 1398 H dari seorang ibu dan ayah yang aku cintai.
Tak ada yang istimewa dari perjalanan hidupku. Tapi aku sangat bersyukur bisa bertemu orang-orang istimewa. Guru-guruku di Sidogiri, Murabbiku di Darul Ihya, Bangil merekalah yang begitu berarti bagiku. Moga Allah membalas mereka atas segala bimbingan yang telah mereka berikan.
Sekarang aku sudah dikarunia satu anak dan sebentar lagi akan dua. Moga istriku yang tercinta tabah karena anakku akan terus bertambah. Doakan
.